
SEPUTARBANYUMAS.COM – Laut Selatan kembali menjadi panggung sakral bagi ribuan warga Cilacap. Pada Jumat pagi (27/6/2025), bertepatan dengan 1 Suro dalam kalender Jawa, tradisi turun-temurun Sedekah Laut kembali digelar dengan khidmat dan meriah. Sejak fajar menyingsing, gelombang manusia telah memadati Alun-alun Cilacap hingga Pantai Teluk Penyu, menyambut momen puncak: larung jolen.
Dalam prosesi penuh makna ini, sembilan peti sesaji berisi kepala sapi, hasil bumi, dan hasil laut dilarung ke tengah samudra. Bagi masyarakat pesisir, ini bukan sekadar tradisi, melainkan wujud syukur, penghormatan, dan harapan akan limpahan rezeki dari laut yang telah menjadi sumber kehidupan.
Tahun ini terasa lebih istimewa. Salah satu jolen merupakan titipan dari Sri Sultan Hamengkubuwana X, yang disampaikan melalui Paguyuban Kerabat Mataram (Pakem). Kehadiran simbolis Keraton Yogyakarta mempertegas bahwa Sedekah Laut Cilacap bukan hanya milik warga pesisir, tetapi bagian dari warisan budaya Jawa yang lebih luas.
Di balik larung jolen, tersimpan filosofi mendalam, sebuah komunikasi simbolis antara manusia dan kekuatan alam. Ritual ini mengingatkan semua pihak bahwa laut bukan hanya sumber penghidupan, tapi juga entitas yang harus dihormati dan dijaga keseimbangannya.
“Ini intinya wujud rasa syukur kita nelayan kepada Tuhan YME, bahwa nelayan telah diberi penghasilan selama ini, kemudian keselamatan di laut, cari ikan selamat pulang ketemu keluarga dan biasanya setelah sedekah laut ini, hasil nelayan bertambah dan ini kepercayaan kita,” jelas Parjo Hadi Pranoto, Wakil Ketua I DPC HNSI Cilacap.
Sebelum jolen dilarung, seluruh peserta dan sesaji diarak dari Pendopo Kabupaten Cilacap menuju Pantai Teluk Penyu. Sepanjang jalan, iring-iringan disambut warga dan wisatawan, diiringi drum band, barisan nelayan berpakaian adat, serta pertunjukan kesenian tradisional.
Masyarakat terlihat antusias mengikuti prosesi. Sulastri (52), warga setempat yang datang bersama keluarganya, menyebut ritual ini sebagai bagian dari doa kolektif masyarakat pesisir.
“Setiap tahun saya ikut. Ini bukan sekadar budaya, tapi bentuk syukur kami pada laut yang sudah memberi hidup. Kita berdoa agar dijauhkan dari bencana, hasil tangkapan banyak, dan semuanya selamat saat melaut,” ujarnya.
Hal serupa juga dirasakan oleh Raka Putra (24), wisatawan asal Purwokerto, yang untuk pertama kalinya menyaksikan langsung Sedekah Laut.
“Saya merinding lihat jolen dilarung. Beda banget rasanya kalau menyaksikan langsung, penuh makna dan magis. Ini bukan sekadar tradisi, tapi pengalaman spiritual,” ujarnya.
Sehari sebelumnya, rangkaian kegiatan telah dimulai dengan ziarah ke Karangbandung, sebuah titik sakral di selatan Pulau Nusakambangan, serta tirakatan dan syukuran bersama seluruh elemen daerah dan tokoh masyarakat di Pendopo Kabupaten Cilacap, dipimpin langsung oleh Bupati.
Malam nanti, prosesi akan ditutup dengan tasyakuran dan pagelaran wayang kulit semalam suntuk di setiap kelompok nelayan. Wayangan ini menjadi simbol ruwatan, penolak bala, dan penghormatan kepada leluhur.
Lebih dari 17.000 nelayan yang tergabung dalam induk organisasi HNSI Cilacap terlibat dalam perayaan ini. Pemerintah daerah juga memberikan dukungan penuh agar Sedekah Laut bisa terus digelar secara meriah dan aman setiap tahunnya.
“Sedekah Laut bukan hanya pesta rakyat, tapi juga destinasi budaya unggulan Cilacap yang mampu menarik wisatawan sekaligus menguatkan identitas masyarakat pesisir,” imbuh Parjo.
Sebagai ritual yang sudah berjalan sejak 1875, Sedekah Laut Cilacap bukan hanya tentang larung jolen, tapi tentang hubungan manusia dengan laut, tradisi dengan alam, dan doa dengan harapan. Di tengah zaman yang terus berubah, inilah jejak kearifan lokal yang tetap hidup dan terus diwariskan.



