
Apa yang salah dari Timnas sepak bola kita kemarin? Setelah bermain apik melawan China dan menang 1-0, Timnas dipenuhi puja puji, hadiah, dan apresiasi publik yang tinggi. Beberapa hari kemudian, melawan Jepang, dan dikalahkan dengan skor telak, 6-0. Permainan Timnas pun kelihatan kedodoron. Penguasaan bola untuk Jepang, mencapa antara 60-65 persen. Suatu hegemoni dan dominasi yang masif. Teknik individu, dan ketenangan pun kita kalah total. Permainan terjadi setengah lapang. Di panggung international, ketika puluhan atau bahkan jutaan pasang mata melihat, Timnas kita dipermalukan.
Dalam hitungan yang singkat, Timnas bak hero to zero. Dari puja puji menjadi caci maki.
Membandingkan Jepang dan China dalam sepak bola, tentu tidak objektif. Jepang adlh peringkat 15 dunia. Langganan piala dunia. China, pada klasemen kualifikasi group saja saat ini, berada didasar klasemen. Puncaknya diduduki oleh Jepang. Yang salah adalah di sini. Mengharap Timnas menang dari sebuah tim yang secara peringkat sangat jauh di atas.
Yang salah juga adalah, kita mencaci Timnas ketika mental mereka sedang down akibat kekalahan telak dari Jepang. Anak2 seharusnya kita support agar kembali semangat menatap pertandingan berikutnya pada fase keempat kualifikasi.
Para pemain tidak ada yang salah ketika mereka datang ke Timnas, karena panggilan nasionalisme. Termasuk para pemain diaspora, naturalisasi dan keturunan. Mereka semua ingin membela tanah air leluhurnya.
Eric Tohir juga tidak salah, ketika dia mengambil langkah instan, demi ekpetasi rakyat melihat Timnasnya bisa berlaga di fase final piala dunia. Indonesia adalah negara besar, dengan pecinta sepak bola dan aset pemain bola yang besar pula. Sudah seharusnya punya Timnas yang besar dan hebat. Banyak negara2 kecil punya Timnas hebat: Jepang, misal yang baru mengalahkan Tim Garuda. Uruguay juga merupakan tim legenda yang hebat walau jumlah penduduknya hanya berkisar 4 jutaan.
Erick Tohir tentu tahu, bahwa langkah instan ya hanya akan menghasilkan sesuatu yang instan. Kekuasaan mafia bola yang akut, berpuluh puluh tahun, menyebabkan perlunya perubahan yang struktural dan kultural. Ini memakan waktu yang lama. Sistem kompetisi harus berjenjang. Wasit harus disiplin. Pemain harus profesional, para penonton harus tertib dan berkarakter yang baik. Para pebisnis, dunia industri harus mensupport sepak bola. Ini disatu sisi. Pada sisi lain, publik ingin cepat melihat Timnasnya hebat. Ini hal yang mustahil dilakukan secara cepat. Maka rekruitmen para pemain dari liga2 besar di Eropa, tentu menjadi preferensi yang cepat, sambil membangun fondasi sepak bola dalam negeri secara bertahap. Ini jangan dilupakan. Kalau sampai dilupakan, ini yang salah dari Timnas. ***
Cilacap, 110625
Toufik


