
SEPUTARBANYUMAS.COM – Ada yang berbeda di Stasiun Purwokerto akhir pekan ini. Suara gamelan mengalun, para penari lengger tampil anggun, dan sosok jenaka Bawor menghibur para penumpang yang baru turun dari kereta api. PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi 5 (Daop 5) Purwokerto menghadirkan kejutan budaya bagi para pengguna jasa transportasi kereta api, Sabtu (28/6/2025).
Tak sekadar tempat transit, Stasiun Purwokerto menjelma menjadi panggung budaya lokal. Penampilan kesenian khas Banyumasan, seperti tari lengger dan tokoh punakawan Bawor, menjadi bagian dari program layanan tematik yang rutin digelar KAI sebagai bentuk apresiasi kepada pelanggan setia.
“Kami ingin memberikan lebih dari sekadar perjalanan. Dengan menghadirkan budaya lokal di stasiun, pelanggan bisa merasakan hangatnya suasana Banyumas sejak kaki pertama menginjak peron,” ujar Kribiyantoro, Manager Humas PT KAI Daop 5 Purwokerto.
Selain memanjakan mata dan hati penumpang, momen ini juga berlangsung di tengah lonjakan penumpang di wilayah Daop 5. Hingga pukul 12.00 WIB, tercatat 16.939 penumpang naik dan 18.113 penumpang turun. Tiga stasiun dengan mobilitas tertinggi adalah:
- Stasiun Purwokerto: 6.906 naik, 7.971 turun
- Stasiun Kutoarjo: 2.170 naik, 2.550 turun
- Stasiun Kroya: 1.810 naik, 1.710 turun
Tingginya animo masyarakat juga terlihat dari tingkat okupansi kereta untuk Minggu (29/6), yang mencapai 125 persen dengan total tiket terjual sebanyak 13.591 kursi dari kapasitas 10.720 kursi. Hanya tersisa 318 kursi dari seluruh keberangkatan.
“Kami terus mengimbau pelanggan untuk merencanakan perjalanan lebih awal dan membeli tiket melalui kanal resmi seperti aplikasi Access by KAI agar tidak kehabisan,” tambah Kribiyantoro.
Inisiatif menghadirkan pertunjukan budaya di ruang publik transportasi ini mendapat respons antusias dari penumpang. Bagi sebagian orang, ini adalah hiburan yang menyenangkan, bagi yang lain, ini jadi pengalaman pertama menyaksikan langsung budaya Banyumasan.
Dengan langkah ini, PT KAI Daop 5 tak hanya mengantar penumpang dari satu kota ke kota lain, tapi juga mengantar pesan bahwa budaya lokal tetap hidup dan relevan di tengah derasnya arus modernisasi. Sebuah perjalanan yang tak hanya bergerak secara fisik, tapi juga menyentuh hati.


