Aktivitas lari kini tak sekadar menjadi olahraga kebugaran, tetapi juga gaya hidup yang menjanjikan peluang ekonomi baru. Di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, hingga Purwokerto, semakin banyak orang yang berlari.
Mereka lari sebelum bekerja, selepas pulang kantor, atau saat akhir pekan. Bagi sebagian orang, lari adalah momen menenangkan diri; namun bagi fotografer jalanan, ini adalah ladang cuan yang menggiurkan.
Salah satu pelaku yang berhasil memanfaatkan tren ini adalah Febri, fotografer sekaligus pengelola akun fotoyu @poshoot. Bermula dari hobi, Febri kini menjadikan fotografi olahraga sebagai pekerjaan sampingan yang menghasilkan jutaan rupiah per bulan.
Ia mulai menekuni dunia fotografi olahraga sejak satu setengah tahun lalu, ketika masyarakat urban ramai bersepeda dan berlari di jalanan kota semakin tren.
Dari Hobi Fotografi Jadi Profesi Serius
Tak berbeda dengan Yans, fotografer jalanan pengelola akun fotoyu @yansphotografi. Yans tidak langsung sukses di dunia yang sekarang dia tekuni.
Awalnya, ia banyak belajar secara otodidak dan melakukan riset terhadap fotografer lain. Ia mengamati cara mereka memasarkan hasil jepretan, berinteraksi dengan pelanggan, serta memanfaatkan media sosial untuk membangun komunitas dan kepercayaan.
Menurutnya, media sosial seperti Instagram berperan penting dalam mempopulerkan tren ini. Para pelari senang mengunggah momen berlari mereka, lengkap dengan ekspresi lelah namun bahagia, atau pose finis dengan medali di dada.
Di masa awal, Yans rutin memotret pelari dan pesepeda di beberapa titik populer di Purwokerto seperti kawasan Menara Pandang, Alun-alun, dan beberapa kali di GOR Satria.
Hasil fotonya dia jual mulai dari Rp25 ribu per file, bisa lebih murah bila ada kesepakatan khusus dengan pelanggan yang membeli beberapa foto sekaligus.
“Banyak fotografer baru menjual fotonya terlalu murah. Padahal, kamera, lensa, dan laptop yang kita pakai itu mahal. Jadi harga yang pantas, penting untuk menjaga nilai karya,” tambahnya.
Persaingan Ketat di Tengah Populernya Tren
Namun, bisnis yang sempat menjanjikan ini kini menghadapi tantangan baru. Yans mengakui bahwa omzetnya sempat menurun karena semakin banyak fotografer jalanan bermunculan.
Saat even lari, jumlah fotografer di sepanjang jalur bisa puluhan orang. Dia khawatir kondisi ini membuat pasar menjadi jenuh.
“Kalau dulu cuma ada beberapa fotografer, sekarang bisa lebih dari 20 di satu jalur. Jadi harus pintar cari spot dan momen,” ujarnya.
Untuk menyiasatinya, Yans mulai mengincar event atau orderan khusus. Di event semacam ini, lebih potensial karena pelari cenderung membeli foto untuk posting media sosial.
Meski fotografi hanyalah pekerjaan sampingan, penghasilannya tidak bisa dianggap remeh. Dalam satu bulan, Yans bisa meraup hingga jutaan rupiah dari penjualan foto.
Dia fokus menjual karyanya di platform Fotoyu, aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI) yang menghubungkan fotografer dengan pelari.
Fenomena fotografer jalanan di platform Fotoyu ini, belakangan sempat menuai pro dan kontra. Ada yang menilai keberadaan mereka mengganggu privasi pelari, namun banyak pula yang merasa terbantu. Karena para pelari bisa mendapatkan dokumentasi profesional, tanpa harus menyewa jasa pribadi.
“Solusinya sederhana, kalau ada yang keberatan tinggal minta fotonya dihapus. Kita kan motret di ruang terbuka, bukan sembunyi-sembunyi,” ujarnya.
FOMO dan Medali Estetik: Dorongan Sosial di Balik Tren Lari
Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) juga ikut memicu populernya olahraga lari. Banyak masyarakat urban merasa tertinggal jika tidak ikut event lari yang belakangan hampir tiap minggu.
Setiap unggahan foto finis dengan medali dan nomor dada di media sosial, menjadi simbol kebanggaan tersendiri.
Penyelenggara lomba pun memanfaatkan tren ini. Mereka berlomba-lomba menawarkan medali unik, kaus finisher edisi terbatas, hingga konsep lomba bertema. Semua demi menciptakan momen foto yang layak diunggah.
Dalam konteks inilah, fotografer menjadi bagian penting dari ekosistem. Foto pelari yang dramatis—baik berlatar sunrise, pegunungan, atau landmark kota—menjadi representasi visual dari pencapaian dan gaya hidup sehat.
Fotografi Olahraga: Dari Tren Jadi Profesi Masa Depan
Bisnis fotografi olahraga kini menjadi ruang baru bagi para kreator visual. Dengan bantuan teknologi AI dan platform digital, fotografer tak lagi bergantung pada media atau klien korporasi. Mereka bisa langsung menjual karya kepada individu yang ingin mengabadikan momen pribadi.
Bagi fotografer, peluang ini bukan sekadar soal pendapatan, tapi juga soal kepuasan artistik. Meski pasar semakin kompetitif, banyak fotografer percaya profesi ini akan bertahan lama.
Selama masyarakat masih gemar berlari dan berbagi foto di media sosial, bisnis ini akan terus berputar.
Fotografi olahraga telah menjadi wajah baru ekonomi kreatif perkotaan—perpaduan antara gaya hidup sehat, hasrat estetik, dan kecerdikan memanfaatkan teknologi. Kamera kini tak hanya menangkap gambar, tetapi juga peluang hidup.



