Awal persoalan Sapphire MansionSapphire Mansion terkuak sekitar Maret 2024. Salah satu pembeli Hendy Wahyu Saputra mengetahui hal itu saat dia hendak top up kredit.
Pengajuan top up kredit itu di tolak oleh pihak BRI, bank yang membiayai pengembang Sapphire Mansion. Alasan pihak bank menolak karena rumah yang dia beli di Sapphire Mansion ternyata tidak memiliki IMB.
Mengetahui hal tersebut Hendi pun kaget. Mengobati penasaran dan rasa tidak percayanya, dia lantas melakukan penelusuran. Langkah-langkah yang ditempuh akhirnya menemukan sejumlah fakta.
Hendy menceritakan, dia membeli rumah senilai Rp 809,9 juta di Sapphire Mansion tahun 2019 atas nama istrinya, Tri Afiyani. Transaksi melalui skema KPR di Bank BRI.
Namun, saat mengajukan top up kredit, bank justru menolak karena ada fakta mengejutkan: rumah tersebut tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB)!
“Bagaimana mungkin rumah tanpa IMB bisa lolos verifikasi KPR? Ini sangat janggal,” ujaranya, saat itu.
Hendi akhirnya mengetahui bahwa pengembang Sapphire Mansion, ternyata saat ijin pembangunannya adalah untuk rumah sangat sederhana.
Namun, pengembang Sapphire Mansion menjadikan kawasan tersebut sebagai perumahan mewah. Bagaimana tidak mewah, harganya per unit-nya saja rata-rata nyaris Rp 1 miliar.
Fakta tersebut menjadikan Hendy dan pembeli lainnya merasa dirugikan secara hukum dan finansial.
“Saya akan terus dorong ini ke jalur hukum. Sebagai konsumen, saya berhak mendapat kepastian dan perlindungan,” kata Hendy.
Merasa menjadi korban, Hendy melaporkan pengembang Sapphire Mansion ke kepolisian. Berbulan-bulan laporannya tidak ada perkembangan yang signifikan.
Hendi terus berjuang untuk mendapatkan jawaban atas persoalan ini. Dia mencoba komunikasi dengan pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif.
Berharap bisa mendapatkan progres dalam penanganan, pada bulan Agustus 2025, Hendy menggandeng pengacara Djoko Susanto SH, sebagai kuasa hukum.
“Saya melihat sampai hari ini belum ada ketegasan dari aparat penegak hukum untuk menyelesaikan masalah ini. Padahal kasus ini sederhana, buktinya sudah lengkap, dan sudah saya tunjukkan. Tapi kenapa saya tidak juga mendapat keadilan? Melalui Pak Djoko sebagai kuasa hukum, saya mohon bantuan untuk mencari kepastian hukum. Kami sebagai warga negara harusnya sama di mata hukum,” kata Hendy.
Pada bulan September, Hendy bersama kuasa hukumnya, Ketua Peradi SAI Purwokerto H. Djoko Susanto SH mendatangi Polres Banyumas. Mereka ditemui oleh perwakilan Unit Ekonomi dan Bisnis Satreskrim Polresta Banyumas.
“Menurut keterangan Kanit, akan ada pemeriksaan lanjutan terhadap saksi, termasuk pihak marketing pengembang, saksi ahli pidana, serta beberapa pejabat instansi terkait,” kata Hendy kepada wartawan.
Ia menekankan pentingnya langkah tersebut agar proses hukum berjalan transparan dan memberikan kepastian. “Kami ingin memastikan laporan ini benar-benar ditindaklanjuti,” ujarnya.
Pada bulan Oktober, Pemkab Banyumas melalui Satpol PP memasang banner larangan operasional pembangunan di kawasan Sapphire Mansion. Namun peringatan tersebut dilawan oleh pihak pengembang. Pembangunan tetap jalan.
Akhir Oktober Tim dari Polda Jawa Tengah turun langsung ke lokasi. Kedatangan mereka dalam rangka menindaklanjuti laporan pembeli Sapphire Mansion, Hendy.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, kedatangan aparat dari Polda Jateng bertujuan untuk memastikan penanganan laporan Hendy di Polresta Banyumas berjalan sesuai prosedur.
Kuasa Hukum Hendy, Djoko Susanto, SH mengatakan pihaknya telah melaporkan sejumlah dugaan pelanggaran kepada Polresta Banyumas. Ia juga telah mengirimkan surat kepada Mabes Polri untuk menindaklanjuti lambannya penanganan perkara tersebut.
“Kami telah melaporkan tiga tindak pidana, namun hingga kini prosesnya di Polres terkesan lamban. Ini perlu menjadi perhatian serius karena menyangkut ketatanegaraan, penyalahgunaan jabatan, dan kewenangan di Kabupaten Banyumas,” kata Djoko.
Djoko menjelaskan, kasus tersebut berkaitan dengan permasalahan lahan dan peruntukannya yang diduga tidak sesuai dengan ketentuan. Menurutnya, pihak pengembang dan stakeholder di lokasi tersebut tidak mengindahkan larangan pembangunan yang telah dikeluarkan pemerintah daerah.
“Ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dan pengabaian terhadap aturan yang berlaku. Seharusnya diberlakukan status quo atas lahan itu sampai persoalan hukumnya tuntas,” kata dia.
Djoko berharap Mabes Polri turun tangan agar proses hukum berjalan adil, transparan, dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang terdampak.
Follow akun sosial media kami untuk update berita terbaru!



